Oleh: Tubagus Januar Soemawinata (Universitas Nasional)
SAYA mendapat kiriman email dari teman wartawan di DPR RI, yang isinya seruan agar mengkritisi dan menelaah mengapa dan apa sebenarnya yang terjadi di balik mundurnya Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani. Teman tadi memprediksi, sikap langkah Sri Mulyani yang mundur dari jabatannya ada kemungkinan sebentar lagi akan diikuti pula oleh Boediono yang juga akan mundur dari kursi Wapres. Sebab, dia akan kesulitan apabila harus menjadi ‘bumper’ atau tameng sendirian menghadapi serangan dari berbagai pihak yang memperkarakan kasus bailout Bank Century.
Nampaknya, kaum kelas menengah yang kritis mulai berpikir bahwa mundurnya Sri Mulyani bisa jadi karena adanya kompromi politik yang harus mengorbankan Sri Mulyani sebagai tumbal. Bisa jadi juga Sri Mulyani berkorban untuk atasannya. Tapi jika hal ini yang terjadi, maka Sri Mulyani bukan hanya bodoh tetapi dia juga tidak berpihak pada kebenaran karena tidak berani melawan kezaliman atas dirinya. Sri Mulyani bisa jadi merasa muak pula terhadap perilaku partai politik yang sebenarnya sadar bahwa Menkeu/Ketua KSSK ini hanya menjalankan perintah atasannya, namun belagak tidak tahu dan hanya menyasar dirinya.
Partai politik (parpol) tidak ada satu pun yang berani menyasar Presiden SBY sebagai penanggungjawab atas skandal Century. Parpol pun meniadakan fakta-fakta hukum dengan alasan politik yang sungguh tidak masuk akal bahwa semuanya sekali lagi seharusnya ada Presiden atau Wapres saat itu yang harus bertanggungjawab.
Sayangnya, media massa juga terlena dengan permainan parpol utamanya Golkar yang memang hanya menyasar Sri Mulyani atas dasar pribadi ketua umum Golkar yang diduga tidak menyukai Sri Mulyani. Media cetak misalnya tidak pernah menulis dan memperhatikan apakah bosnya Golkar (Aburizal Bakrie) telah membayar tunggakan pajak perusahaannya atau tidak.
Sehingga wajar apabila kini ada penilaian bahwa mundurnya Sri Mulyani identik dengan kemenangan Golkar. Setidaknya Sekjen Partai Gerindra Ahmad Muzani menyebut keputusan mundurnya Sri Mulyani sangat menguntungkan Partai Golkar. Dengan demikian, secara politik, SBY bisa dinilai kalah bertarung dengan politik Golkar soal Sri Mulyani. "Mundurnya Sri Mulyani bagian dari kompromi politik untuk menyelamatkan muka semuanya. Ini bagian dari kemenangan Golkar," kata anak buah Prabowo ini.
Yang dimaksud menyelamatkan muka semua, lanjut Muzani, adalah kesan kepergian Sri Mulyani tanpa desakan DPR. Padahal DPR, terutama Fraksi Golkar sangat keras menekan Sri Mulyani dalam sidang-sidang di DPR. "Kita tahu yang ngotot di berbagai forum, termasuk Pansus Century yang meminta Menkeu mempertanggungjawabkan semuanya itu kan Golkar," sindirnya.
Sikap lunak Golkar atas kasus Century itu pun menuai protes keras dan kecaman dari partai lain yang merasa sejak awal berjuang bersama Golkar mengawal Pansus Angket Century. Konsistensi Golkar pun dipertanyakan. "PDIP tidak mau mempetieskan kasus ini secara politik dan hukum. Kepergian Sri Mulyani akan menunjukkan konsistensi setiap parpol," kritik Ketua DPP PDIP Maruarar Sirait.
Inisiator Hak Menyatakan Pendapat dan Hak Angket Century DPR ini mengingatkan Golkar agar tidak 'menipu' rakyat dalam berpolitik. Sebab, masyarakat akan melihat konsistensi Golkar dalam kasus Century. Ara meminta Golkar memperhatikan nasib rakyat dan tidak hanya memikirkan kepentingannya sendiri. "Masyarakat akan melihat konsistensi parpol dalam bidang politik maupun bidang hukum. Pemilu tinggal 3,5 tahun lagi, semua bisa terjadi," seru Maruarar.
Kritik senada juga disampaikan Ketua DPP Partai Hanura Akbar Faisal. Akbar meminta Golkar mengurungkan niatnya untuk mempetieskan kasus Century. "Peti-es itu untuk ikan mati, kami tidak mengenal peti es. Kami memohon kepada Partai Golkar, mari kita tegakkan kredibilitas DPR," seru vokalis Pansus Century dari Hanura ini.
Nampaknya, sejak awal memang sudah bisa diterka bahwa kalangan politisi di DPR lebih mementingkan ambisi pribadi dan kelompoknya, bukan kepentingan rakyat yang diwakilinya. Selama ini ketua umum Golkar Aburizal Bakrie (Ical) tidak nyaman dengan sikap Menkeu Sri Mulyani yang mempermasalahkan tunggakan pajak perusahaan Group Bakrie serta kasus Lumpur Lapindo.
Tak bisa dipungkiri, sejak awal Ical ingin Sri Mulyani dipecat dari jabatannya oleh Presiden SBY. Sementara Golkar kabarnya minta sejumlah posisi jabatan menteri strategis termasuk jabatan Menteri Keuangan, dengan imbalan Golkar tidak mengotak-atik lagi kasus Century. Jika kabar ini benar, maka persetan para politisi kita yang telah melakukan kebohongan publik dengan pura-pura vokal mengriktik skandal Century. Kini kursi Menkeu hampir pasti didapat Golkar, meski harus berebut dengan kandidat Menkeu Gita Wirjawan yang konon didukung Ani Yudhoyono, istri Presiden SBY.
Apabila semua kasus hukum di negeri ini diselesaikan kongkalikong atau dicincai secara politik oleh para elit politik, jelas bisa melukai perasaan rakyat dalam mendapatkan keadilan. Kasus hukum di rezim sekarang dibuat barter kasus, atau ujung-ujungnya dibuat deal atau dagang sapi dengan ditukar jabatan. Dengan cara ini maka semua elit selamat, aman dan semakin kaya. Pejabat yang bersalah pun bebas tak perlu harus mempertanggung jawabkan tindakannya. Sedangkan rakyat tetap melarat karena ditipu terus.
Boleh ditebak, langkah skenario mundurnya Menkeu Sri Mulyani hanya bertujuan untuk menyelamatkan semua elit politik. Pemerintahan saat ini telah mengakomodir keinginan partai-partai politik yang ada, sehingga dengan mundurnya Sri Mulyani maka kasus Century pun selesai. Mundurnya Sri Mulyani juga untuk mengakomodir Golkar dan PKS yang memang tidak menyukai Sri Mulyani. Sekarang ini ada kompromi elit atas yang telah disepakati dengan mengorbankan Sri Mulyani. Akibatnya, Sri Mulyani 'pergi tanpa kesan'.
0 comments:
Post a Comment